TEORI KONTEKSTUAL BERDASARKAN
PERSPEKTIF J. R. FIRTH
ABSTRACT
This article is present before us aiming to describe
contextual theory in general and contextual theory based on J.R Firth. This
goal arises because of the view that contextual theory in general is different
from the theory stated by J.R Firth. In addition, in his theory J.R Firth, also
received some criticism from other linguists. This article is the result of
literature research whose data is obtained from studies of book and journal
sources. This study suggests that the meaning of a word depends or is tied to
the cultural and ecological environment of the speakers of the language. Even
this theory implies that a symbol system does not have meaning if there is no
use in a Language unit and various kinds of context, while a unit will
certainly coexist with other units. In short, this theory implies that in a
word it does not have meaning if it is independent of the context of both the
context in the language and the context of the situation in the language.
Keywods: J.R Firth, Contextual Theory.8
ABSTRAK
Artikel ini hadir di hadapan
kita bertujuan untuk mendiskripsikan mengenai teori kontekstual secara umum dan
teori kontekstual berdasarkan J.R Firth. Tujuan ini muncul karena adanya
pandangan bahwa teori kontekstual secara umum itu berbeda dengan teori yang
dikatakan oleh J.R Firth. Selain itu, dalam teori nya J.R Firth, juga
mendapatkan beberapa kritik dari linguis lainnya. Artikel
ini merupakan hasil penelitian pustaka yang
datanya diperoleh dari kajian sumber buku dan jurnal. Kajian ini mengemukakan bahwa makna dari suatu kata
bergantung atau terikat dengan lingkungan budaya dan ekologi penutur Bahasa
tersebut. Bahkan teori ini mengisyaratkan bahwa sebuah sistem lambang tidak lah
punya makna jika tidak ada kegunaan nya dalam suatu unit Bahasa dan pelbagai
macam konteks, sedangkan suatu unit pastinya akan berdampingan dengan unit yang
lain. Pendek kata teori ini megisyaratkan bahwa dalam suatu kata tidaklah
mempunyai arti jika terlepas dari konteks baik konteks dalam bahasa tersebut
maupun konteks situasi dalam penuturan bahasa tersebut.
Kata Kunci: J.R Firth,Teori Kontekstual.
Pendahuluan
Konsep dari teori kontekstual ini
pertama kali dimunculkan oleh Bronislaw Melinowski berdasarkan pengalamannya
ketika ia menerjemahkan buku Trobriand kedalam bahasa inggris. Dalam penerjemahannya ia mengalami kesulitan karena ia tidak bisa
menerjemahkan kata demi kata atau kalimat dari buku tersebut. Oleh karena itu,
ia mengatakan bahwa the meaning of any untterance is
what it does in some context of situasion. Dalam hal
ini Bronislaw Melinowski lebih condong ke Teori Kontekstual Situasi (Siyaq
Al- Hal). (Parare, 2004, h. 75 dan Bathir, 1995, h. 74)
Dalam linguistik, teori
siyaq (konteks) termasuk kajian yang penting. Karena, siyaq (konteks) memiliki
banyak kontribusi dalam menentukan makna bahasa. Untuk mengetahui makna kata
atau kalimat dengan tepat dan benar
seseorang harus melakukan beberapa analisis terhadap latar belakang
konteks tersebut. Tanpa mengetahui dan memahami siyaq (konteks)
seseorang akan mengalami kesulitan dan kesalahan dalam memahami makna suatu
kata atau kalimat. Sebab makna suatu kata bersifat dinamis dan cenderung
berubah-ubah sesuai dengan konteks yang melatarbelakanginya. Mungkin, hal ini
yang mendorong para linguis untuk mencurahkan perhatian mereka dalam mengembangkan teori Siyaq ini adalah karena
seorang pembaca atau penerima (al-Mutallaqi) tidak bisa memahami maksud
atau tujuan dari suatu kalimat (al-Kalam), ungkapan, dan teks suatu
bahasa tanpa pengetahuan yang baik tentang konteks dan situasi yang melatari
kalam atau teks tersebut. Melalui tulisan ini, penulis akan menjelaskan tentang
teori kontekstual secara umum dan teori kontekstual berdasarkan prespektif J.
R. Firth serta hal-hal yang berhubungan dengan teorinya.
Teori Kontekstual
Teori Kontekstual merupakan makna sebuah dari leksem atau kata yang
berada didalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasi
maupun kondisi, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa tersebut. (Haidar,
2005, h. 56).
Konteks merupakan salah satu komposisi dari suatu makna yang dimaksud
dalam struktur teks atau pembicaraan, sebab konteks tidak hanya memperhatikan
kata dan kalimat saja, tapi juga teks tertulis dan pembicaraan secara keseluruhan
lewat hubungan antara kosakata dalam suatu konteks. Para linguis Arab dahulu
telah mengerti dan memahami besarnya teori konteks dalam menentukan makna,
al-Jurjani (w 471. H) misalnya, dalam bukunya Dalail al-Ijaz
mengatakan bahwasanya kata tunggal (al-Alfazh al-Mufradah) tidak dibuat untuk
diketahui maknanya secara mandiri (terlepas dari konteks), akan tetapi,
kata-kata tersebut tujuannya untuk disusun dan dirangkai dengan satu sama
lainnya sehingga dapat diketahui kegunaan dari rangkaian kata tersebut. Hal ini senada dengan apa yang di tegaskan
oleh Wittgenstein dalam Manqur Abd al-Jalil dalam pernyataannya: Jangan kamu
mencari makna suatu kata, tapi carilah cara bagaimana kata tersebut digunakan
(dalam konteks). (Manqur, 2001, h. 88).
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa makna suatu kata hanya dapat
di tentukan dari konteks yang melatari kata tersebut. Menurut Rajab Abd
al-Jawwâd Ibrâhîm, seseorang tidak dapat menganggap atau menyatakan bahwa ia
mengetahui makna suatu kalimat tanpa ia melihat dari konteksnya. (Ibrahim,
2001, h. 21).
Profil John Rupert Firth
John Rupert Firth lahir
di leeds Inggris, Inggris Raya pada tanggal 17 Juni 1890. Dia lulus sarjana
seni pada tahunn 1911 dan master seni pada tahun 1913, keduanya di jurusan
sejarah dia seorang menjadi seorang dosen di Training College di leeds
pada tahun 1913, dan pada tahun itu juga ia mulai bergabug dengan layanan
pendidikan Indra. Dan ia juga menajdi seoranng profesor bahasa inggris di
Universitas Punjab (sekarang Pakistan) pada tahun 1920-1928. ia juga menjadi
dosen senior di jurusan Fonetik di Universitas College, London pada tahun
1928-1938. Ia mempunyai seorang asisten di jurusan Sosiologi Bahasa di sekolah
ekonomi, London pada tahun 1928, dimana ia bekerja dengan Bronslaw Malinowsky
yang menjadi Dosen senior di School Of Oriental dan Afica Student pada tahun
1958. Ia juga termasuk salah satu penggemar membaca linguistik dan fonetik
India pada tahun 1940. (Strazny, 2005, h. 346).
Jabatan yang ia emban pertama kali adalah pengetahuan tentang linguistic
umum di Inggris Raya tahun 1944 di Universitas College, London. Ia juga menjadi
kepala jurusan limguistik dan Fonetik sejak 1941. Meskipun ia pensiun tahun 1955,
ia tetap melanjutkan mengisi pertemuan atau perkuliahan Filologial Sosieti
(masyarakat) yang mana beliau merupakan anggota dari ilmu tersebut sejak 1933.
Dan ia pun juga pernah menjadi presiden di Filologial Society pada tahun
1954-1957 dan menjadi wakil presiden pada tahun 1959. Dan akhirnya ia menutup
usianya pada tanggal 14 Desember 1960. Disamping perjuangan perjuangan nya yang sangat mulia
dalam mengembangkan ilmu pengethuan, Ia juga mempunyai beberapa karangan buku
diantaranya adalah: The Tongues of Men and Speech dan Papers in Linguistics
1934 1951 (1957), Menurut Firth tutur-tutur harus dihubungkan dengan konteks
situasi untuk menentukan maknanya. (Strazny, 2005, h. 346).
Perlu diketaui bahwa J.R Firth adalah orang yang pertama kali menggagas
aliran firthianisme, yaitu suatu aliran bahasa yang dimajukannya yang berpegang
pada prinsip bahwa bahasa itu harus dipandang sebagai sistem dan kategori yang
bukan bersifat tunggal, tapi banyak. Mempunyai orientasi kepada sosial dan
mnekankan perlunya penelitian konteks. Atau dengan kata lain, kalimat itu harus
ditinjau dari segi wacananya (konteksnya), bila kalimat itu diucapkan, siapa
pengucapnya, dalam situasi bagaimana dan siapa pendengarnya. Kalimat itu baru
jelas artinya kalau semua itu sudah diketahui.
Pemikiran J.R.
Firth Tentang Teori Kontekstual
J. R. Firth menyatakan
tentang teori komtekstual sebagai berikut: If we regard language as
expressive or communicative we imply that it is an instrument of inner
mental states. And as we know so little of inner mental states, even by the
most careful introspection the language problem becomes more mysterious the
more we try to explain it by referring it to inner mental happenings which are
not observable. By regarding words as acts, events, habits, we limit our
inquiry to what is objective in the group life of our fellows. Apabila
kita menganggap bahasa sebagai eskpressif (ucapan, pernyataan) atau
komunikatif (menceritakan, menyampaikan) kita maksudkan adalah bahwa bahasa
tersebut sebagai instrumen dari keadaan mental bagian dalam. Dan sebagaimana
kita ketahui begitu sedikit tentang keadaan mental bagian dalam, bahkan dengan
introspeksi yang sangat cermat pun maka masalah bahasa akan semakin pelik
apabilan kita semakin berusaha untuk menjelaskannya dengan merujuk kepada
peristiwa-peristiwa mental bagian dalam yang tidak dapat diobservasi. Dan
menganggap perkataan atau pernyataan sebagai perbuatan, peristiwa, kebiasaan,
maka kita batasi penyelidikan kita pada sesuatu yang objektif di dalam kehidupan
sesama kita. (Yuslem, 2010, h. 5)
Pemikiran Firth di atas
melahirkan ide tentang konteks situasi atau teori kontekstual dalam analisis
makna. Makna sebuah kata, menurut teori ini, terikat pada lingkungan kultural
dan ekologis pemakai bahasa tersebut. Bahkan teori kontekstual mengisyaratkan
bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas
dari konteks. Tokoh lain yang pendapatnya sejalan dan bahkan juga menjadi dasar
bagi teori kontekstual ini adalah antropolog B. Malinowski dari Inggris.
(Parare, 2004, h. 47)
Firth menjelaskan bahwa
makna tidak akan terlihat atau terungkap kecuali melalui penggunaannya dalam
unit bahasa, yaitu dengan menggunakannya dalam berbagai macam konteks. Firth
berpendapat, sebagian besar unit makna berdampingan dengan unit-unit lain.
Makna unit ini tidak mungkin digambarkan atau ditentukan kecuali dengan
memperhatikan unit-unit lain. Karena itulah studi makna tentang kata menuntut
adanya analisis konteks yang menjadi acuan kata-kata tersebut. Dengan demikian,
makna kata bergantung ada macam-macam konteks tempat kata itu berada. Dengan
kata lain, makna kata bergantung pada peran kebahasaannya. (Umar, 1998, h.
68-69).
Dalam teori kontekstual
ini J.R Firth lebih condong ke Konteks Situasi seperti yang sudah disinggung
pada bab pendahuluan bahwa arti suatu konteks dalam suatu kata atau kalimat itu
mengandung makna yang berkaitan dengan waktu dan tempat berlangsungnya dalam
suatu pembicaraan atau teks (tulisan). Jadi, pada konteks ini sebuah ujaran
dikaitkan dengan sebuah pertanyaan kapan, di mana dan dalam situasi apa ujaran
itu diucapkan. Tempat, waktu dan kondisi memiliki pengaruh terhadap pemaknaan
sebuah kalimat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hal ini menjadi penting, jika
tidak demikian maka kemungkinan akan terjadi ketidaksaling fahaman antara
penutur dengan pendengar. Hal ini dikemukakan oleh Mustansyir (2001, h. 155)
mengutip pendapat Wittgenstein yang menegaskan bahwa arti suatu kata bergantung
pada penggunaannya dalam kalimat. Artinya, kita bisa terjebak ke dalam keruwetan
bahasa manakala kita menjelaskan pengertian suatu kata dengan memisahkannya dari
situasi yang melatarbelakanginya dalam arti tidak tahu kapan, dimana, dan
kondisi pemicaraan atau tulisan itu muncul dihadapan kita.
Para linguis kontemporer
menegaskan akan pentingnya peran konteks dalam menentukan makna sebuah bahasa.
Untuk mengetahui makna kata dengan benar dan tepat, harus dengan menganalisis konteks yang
melatarinya, sebagaimana yang di tegaskan oleh Audah Khalîl Abû Audah,
menurut nya untuk memahami makna tidaklah cukup hanya dengan melihat dan
membuka kamus saja, tetapi harus melihat konteks yang melatari kata tersebut, seperti
lingkungan di mana kata tersebut diucapkan,
kemudian penutur bahasa itu sendiri; apakah itu intonasi dan stress.
(Audah Khalîl AbuAudah, 1985, h. 73). Dalam teori ini memaksa pembicara untuk
lebih cerdas dan berhati-hati dalam memilih kata-kata sesuai dengan situasi.
Hal ini senada dengan para linguis Arab dahulu, yang terkenal oleh ahli
balâghah (ahli dalam pembicaraan) dengan istilah al-Maqâm sehingga kata maqam ini
menjadi sebuah perumpamaan yang ter- kenal: (لكل مقام مقال) dan (لكل كلمة مع صاحبتها مقام). Dengan memperhatikan konteks, menjadikan seorang pembicara
untuk tidak menggunakan kata-kata yang tidak sesuai dengan keadaan dan
tempatnya atau kata-kata yang jarang digunakan oleh masyarakat lingkungannya.
Misalnya penggunaan kata (يرحم) ketika mendo’akan orang yang sedang bersin dengan mengatakan:
(يرحمك الله) dimulai dengan fi’il, tapi ketika mendo’akan orang yang telah meninggal dunia, maka dikatakan: (الله يرحمه) dimulai dengan isim. Kalimat
yang pertama maknanya permohonan rahmat di dunia, sedangkan kalimat yang
kedua maksudnya permohonan rahmat di akhirat. (Umar, 1998, h. 71-72).
Sedangkan menurut
Muhammad ’Ali al-Khuli menyatakan bahwa konteks situasi adalah:
السياق الذي جري فى إطاره التفاهم بين شخصين ويشمل ذاك زمن المحادثة
زمكانها والعلاقة بين المتحادثين والقيم المشتركة بينهما والكلام السابق للمحادثة.
Artinya:
konteks yang berlangsung dalam bingkainya saling memahami antara dua
individu yang meliputi waktu, tempat, dan hubungan antara kedua individu tersebut,
kemudian juga kesamaan nilai antara keduanya, dan kalimat-kalimat yang melatari
pembicaraan. (Khuli, 1986, h. 259).
Unsur-unsur konteks
situasi ini meliputi antara lain:
1. Pembicara itu sendiri, yaitu: apakah ia priaatau wanita, apakah satu
orang, dua, atau berkelompok, apa agama, warga negara, stress suaranya,
kedudukan sosialnya, dan sifat-sifat yang membedakannya dari yang lain.
2. Pendengar, yaitu meliputi hubungannya dengan si pembicara, dari segi
kekerabatan dan persahabatan dengannya, responnya terhadap pembicara, di
samping karakter- karakter dari unsur pembicara yang telah disebutkan di atas.
3. Pokok pembicaraan, yaitu: dalam kondisi apa diucapkan, di mana dan
kapan, bagai- mana diucapkan, apa yang melatarbelakangi pembicaraan tersebut,
dan unsur- unsur lain yang mempengaruhi pada cara pengucapan pembicaraan,
penyusunan struktur kalimat, makna, dan tujuan dari pembicaraan tersebut.
4. Implikasi pembicaraan terhadap orang-orang yang terlibat dalam
pembicaraan tersebut, apakah ia puas, tidak suka (menantang), tertawa, dan
lain-lain. (Musa, 1980, h. 85-87).
Al-Amar (kalimat
perintah) dalam kali- mat berikut ini, ( العب واهجر قراءة الكتب) contohnya, terkadang
perintah (amar) pada kalimat tersebut dimaksudkan untuk mencela (al-Taubih),
untuk membimbing (al-Irsyad), atau untuk menakut-nakuti (al-Tahdîd) sesuai dengan
konteks dan kondisi lawan bicara. (Bahri, 2016, h. 94).
Teori konteks situasi ini
mempunyai peran fungso penting dalam menentukan sebuah makna kata atau kalimat.
Dalam hal ini, al-Izz Ibn Abd al-Salam menyatakan bahwa Siyaq memberi petunjuk
untuk menjelaskan kata-kata yang umum (al-Mujmalat), menguatkan kata-kata yang mengandung
kemungkinan-kemungkinan adanya makna yang bermacam-macam (al-Muhtamalat),
menguatkan kata-kata yang bermakna jelas (al-Wadhihat), maka setiap sifat yang
terletak pada konteks pujian (Siyaq al- Madah) maka ia adalah pujian, walaupun asalnya untuk celaan, dan setiap sifat yang terletak
pada konteks celaan (Siyaq al-Zamm), maka ia adalah celaan, walaupun asalnya dibuat
untuk pujian. Seperti firman Allah Swt. dalam surah al-Dukhan: " ذق إنك أنت العزيز الحكيم" kata al-‘Azîz dan al-Karîm dalam ayat tersebut artinya perkasa dan
mulia, asalnya dibuat untuk menyatakan pujian, tapi karena ia berada dalam
konteks celaan (al-Tazlil wa al- Tahqir) maka ia mengandung makna celaan (Jauziyyah,
jilid 4, h. 9 -10).
Kritik Terhadap
Pemikiran J.R. Firth Tentang Teori Kontekstual
Dalam teorinya yang begitu pengaruh
dalam sebah makna kata atau kalimat, teori kontekstual yang dinyatakan oleh J.R
Firth terdapat beberapa kritik atau komentar dari ahli linguistik lainya diantaranya:
a.
Firth tidak
menggunakan teori universal untuk menyusun suatu bahasa, ia dicukupkan dengan menggunakan
teori semantik, padalah makna harus diungkapkan secara berurutan dari
hubungan-hubungan kontekstual (Siyaq), suara-suara (Al-Aswat),
struktur dan semantik. (Umar, 1998, h. 73)
b.
Firth tidak
membatasi ketika menggunakan istilah konteks beserta kepentingannya.
Penjelasannya tentang situasi pun tidak begitu jelas. (Umar,
1998, h. 73)
c.
Teori ini sama sekali
tidak bermanfaat ketika konteks tidak dapat menjelaskan suatu makna kata atau kalimat. (Umar, 1998, h. 73)
Simpulan
Teori Kontekstual merupakan
makna sebuah dari leksem atau kata yang berada didalam satu konteks. Makna
konteks dapat juga berkenaan dengan situasi maupun kondisi, yakni tempat, waktu
dan lingkungan penggunaan bahasa tersebut. Teori ini dikembangkan oleh seorang
linguistik yang berasal dari Inggris yaitu J. R. Firth. Dalam teori kontekstual
ini, J.R Firth lebih condong ke Konteks Situasi, artinya suatu konteks dalam
kata atau kalimat itu mengandung makna yang berkaitan dengan waktu dan tempat berlangsungnya
dalam pembicaraan atau teks (tulisan). Jadi, pada konteks ini sebuah ujaran
dikaitkan dengan sebuah pertanyaan kapan, di mana dan dalam situasi apa ujaran
itu diucapkan. Tempat, waktu dan kondisi memiliki pengaruh terhadap pemaknaan
sebuah kalimat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hal ini menjadi penting, jika
tidak demikian maka kemungkinan akan terjadi ketidaksaling fahaman antara
penutur dengan pendengar. Teori yang dikemukakan oleh J.R. Firth terdapat
beberapa kritikan dari para linguis yang menganggap bahwa teori Firth tidak
menggunakan teori secara universal dan tidak ada batasan dalam penggunaannya
serta tidak akan berguna ketika tidakadanya kejelasan konteks dari suatu kata
atau kalimat.
Daftar Pustaka
Bathir, Fara. (1995). Ilmu Dalalah Ithor Jaid Darul Marifah
Al-Jamiiyyah: Iskandariyah
Bahri, Samsul. (2016). “Peran
Al-Siyaq (Konteks) Dalam Menentukan Makna” dalam Ittihad Jurnal Kopertais
XI Kalimantan Volume 14 No.26 Oktober 2016.
Haidar, Farid Awadh. (2005).
Ilm al-Dalalah; Dirasah Nazhariyyah wa Tathbiqiyyah Cet. 1. Kairo:
Maktabah al-Adab.
Ibrahim, Rajab Abd al-Jawwad.
(2001). Dirasat fî al-Dilalah wa al-Mujam. Cet. 1. Kairo: Maktabah
al-Adab.
Jalil, Abd al-Manqur. (2001). “Ilm
al-Dilalah Ushuluh wa Mabahitsuh fî al-Turats al-Arabi. Damaskus: Ittihad
al-Kuttab al-Arab.
Jauziyyah, Ibn Qayyim. al-, Badai al-Fawaid. Jeddah: Dar
Alam al-Fawaid.
Khuli, Muhammad Ali al-.
(1986). A Dictionary of Applied Linguistics. Cet. 1. Beirut: Librairie
du Liban.
Mustansyir, Rizal. (2001). “Filsafah
Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Musa, Nihad. (1980). “Nazhariyyah
al-Nahwi al-Arabi fî Dhau Manahij al-Nazhar al -Lughawi al-Hadits”, Cet.1.
Muassasah al-Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr.
Parera, J. D. (2004). Teori Semantik. Cet. 2. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Strazny, Philipp. (2005). Encyclopedia
Of Linguistics 2v .New York.
Umar, Ahmad
Mukhtar. (1998). Ilmu Dilalah. Kairo: Maktabah
Dar Al-Arubah
Yuslem, Nawir. (2010). Kontektualisasi
Pemahaman Hadis dalam Jurnal MIQOT Vol. XXXIV No. 1 Januari-Juni 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar