Selasa, 15 Januari 2019

teori kontekstual firt


 TEORI KONTEKSTUAL BERDASARKAN PERSPEKTIF J. R. FIRTH

ABSTRACT
This article is present before us aiming to describe contextual theory in general and contextual theory based on J.R Firth. This goal arises because of the view that contextual theory in general is different from the theory stated by J.R Firth. In addition, in his theory J.R Firth, also received some criticism from other linguists. This article is the result of literature research whose data is obtained from studies of book and journal sources. This study suggests that the meaning of a word depends or is tied to the cultural and ecological environment of the speakers of the language. Even this theory implies that a symbol system does not have meaning if there is no use in a Language unit and various kinds of context, while a unit will certainly coexist with other units. In short, this theory implies that in a word it does not have meaning if it is independent of the context of both the context in the language and the context of the situation in the language.
Keywods: J.R Firth, Contextual Theory.8

ABSTRAK
Artikel ini hadir di hadapan kita bertujuan untuk mendiskripsikan mengenai teori kontekstual secara umum dan teori kontekstual berdasarkan J.R Firth. Tujuan ini muncul karena adanya pandangan bahwa teori kontekstual secara umum itu berbeda dengan teori yang dikatakan oleh J.R Firth. Selain itu, dalam teori nya J.R Firth, juga mendapatkan beberapa kritik dari linguis lainnya. Artikel ini merupakan hasil penelitian pustaka yang datanya diperoleh dari kajian sumber buku dan jurnal. Kajian ini mengemukakan bahwa makna dari suatu kata bergantung atau terikat dengan lingkungan budaya dan ekologi penutur Bahasa tersebut. Bahkan teori ini mengisyaratkan bahwa sebuah sistem lambang tidak lah punya makna jika tidak ada kegunaan nya dalam suatu unit Bahasa dan pelbagai macam konteks, sedangkan suatu unit pastinya akan berdampingan dengan unit yang lain. Pendek kata teori ini megisyaratkan bahwa dalam suatu kata tidaklah mempunyai arti jika terlepas dari konteks baik konteks dalam bahasa tersebut maupun konteks situasi dalam penuturan bahasa tersebut.
Kata Kunci: J.R Firth,Teori Kontekstual.

Pendahuluan
          Konsep dari teori kontekstual ini pertama kali dimunculkan oleh Bronislaw Melinowski berdasarkan pengalamannya ketika ia menerjemahkan buku Trobriand kedalam bahasa inggris. Dalam penerjemahannya ia mengalami kesulitan karena ia tidak bisa menerjemahkan kata demi kata atau kalimat dari buku tersebut. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa “the meaning of any untterance is what it does in some context of situasion”. Dalam hal ini Bronislaw Melinowski lebih condong ke Teori Kontekstual Situasi (Siyaq Al- Hal). (Parare, 2004, h. 75 dan Bathir, 1995, h. 74)
          Dalam linguistik, teori siyaq (konteks) termasuk kajian yang penting. Karena, siyaq (konteks) memiliki banyak kontribusi dalam menentukan makna bahasa. Untuk mengetahui makna kata atau kalimat dengan tepat dan benar  seseorang harus melakukan beberapa analisis terhadap latar belakang konteks tersebut. Tanpa mengetahui dan memahami siyaq (konteks) seseorang akan mengalami kesulitan dan kesalahan dalam memahami makna suatu kata atau kalimat. Sebab makna suatu kata bersifat dinamis dan cenderung berubah-ubah sesuai dengan konteks yang melatarbelakanginya. Mungkin, hal ini yang mendorong para linguis untuk mencurahkan perhatian mereka dalam  mengembangkan teori “Siyaq” ini adalah karena seorang pembaca atau penerima (al-Mutallaqi) tidak bisa memahami maksud atau tujuan dari suatu kalimat (al-Kalam), ungkapan, dan teks suatu bahasa tanpa pengetahuan yang baik tentang konteks dan situasi yang melatari kalam atau teks tersebut. Melalui tulisan ini, penulis akan menjelaskan tentang teori kontekstual secara umum dan teori kontekstual berdasarkan prespektif J. R. Firth serta hal-hal yang berhubungan dengan teorinya.
Teori Kontekstual
Teori Kontekstual merupakan makna sebuah dari leksem atau kata yang berada didalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasi maupun kondisi, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa tersebut. (Haidar, 2005, h. 56).
Konteks merupakan salah satu komposisi dari suatu makna yang dimaksud dalam struktur teks atau pembicaraan, sebab konteks tidak hanya memperhatikan kata dan kalimat saja, tapi juga teks tertulis dan pembicaraan secara keseluruhan lewat hubungan antara kosakata dalam suatu konteks. Para linguis Arab dahulu telah mengerti dan memahami besarnya teori konteks dalam menentukan makna, al-Jurjani (w 471. H) misalnya, dalam bukunya ”Dalail al-I’jaz” mengatakan bahwasanya kata tunggal (al-Alfazh al-Mufradah) tidak dibuat untuk diketahui maknanya secara mandiri (terlepas dari konteks), akan tetapi, kata-kata tersebut tujuannya untuk disusun dan dirangkai dengan satu sama lainnya sehingga dapat diketahui kegunaan dari rangkaian kata tersebut.  Hal ini senada dengan apa yang di tegaskan oleh Wittgenstein dalam Manqur ’Abd al-Jalil dalam pernyataannya: Jangan kamu mencari makna suatu kata, tapi carilah cara bagaimana kata tersebut digunakan (dalam konteks). (Manqur, 2001, h. 88).
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa makna suatu kata hanya dapat di tentukan dari konteks yang melatari kata tersebut. Menurut Rajab ’Abd al-Jawwâd Ibrâhîm, seseorang tidak dapat menganggap atau menyatakan bahwa ia mengetahui makna suatu kalimat tanpa ia melihat dari konteksnya. (Ibrahim, 2001, h. 21).
Profil John Rupert Firth
            John Rupert Firth lahir di leeds Inggris, Inggris Raya pada tanggal 17 Juni 1890. Dia lulus sarjana seni pada tahunn 1911 dan master seni pada tahun 1913, keduanya di jurusan sejarah dia seorang menjadi seorang dosen di “Training College” di leeds pada tahun 1913, dan pada tahun itu juga ia mulai bergabug dengan layanan pendidikan Indra. Dan ia juga menajdi seoranng profesor bahasa inggris di Universitas Punjab (sekarang Pakistan) pada tahun 1920-1928. ia juga menjadi dosen senior di jurusan Fonetik di Universitas College, London pada tahun 1928-1938. Ia mempunyai seorang asisten di jurusan Sosiologi Bahasa di sekolah ekonomi, London pada tahun 1928, dimana ia bekerja dengan Bronslaw Malinowsky yang menjadi Dosen senior di School Of Oriental dan Afica Student pada tahun 1958. Ia juga termasuk salah satu penggemar membaca linguistik dan fonetik India pada tahun 1940. (Strazny, 2005, h. 346).
Jabatan yang ia emban pertama kali adalah pengetahuan tentang linguistic umum di Inggris Raya tahun 1944 di Universitas College, London. Ia juga menjadi kepala jurusan limguistik dan Fonetik sejak 1941. Meskipun ia pensiun tahun 1955, ia tetap melanjutkan mengisi pertemuan atau perkuliahan Filologial Sosieti (masyarakat) yang mana beliau merupakan anggota dari ilmu tersebut sejak 1933. Dan ia pun juga pernah menjadi presiden di Filologial Society pada tahun 1954-1957 dan menjadi wakil presiden pada tahun 1959. Dan akhirnya ia menutup usianya pada tanggal 14 Desember 1960. Disamping  perjuangan perjuangan nya yang sangat mulia dalam mengembangkan ilmu pengethuan, Ia juga mempunyai beberapa karangan buku diantaranya adalah: The Tongues of Men and Speech dan Papers in Linguistics 1934 – 1951 (1957), Menurut Firth tutur-tutur harus dihubungkan dengan konteks situasi untuk menentukan maknanya. (Strazny, 2005, h. 346).
Perlu diketaui bahwa J.R Firth adalah orang yang pertama kali menggagas aliran firthianisme, yaitu suatu aliran bahasa yang dimajukannya yang berpegang pada prinsip bahwa bahasa itu harus dipandang sebagai sistem dan kategori yang bukan bersifat tunggal, tapi banyak. Mempunyai orientasi kepada sosial dan mnekankan perlunya penelitian konteks. Atau dengan kata lain, kalimat itu harus ditinjau dari segi wacananya (konteksnya), bila kalimat itu diucapkan, siapa pengucapnya, dalam situasi bagaimana dan siapa pendengarnya. Kalimat itu baru jelas artinya kalau semua itu sudah diketahui.
Pemikiran J.R. Firth Tentang Teori Kontekstual       
          J. R. Firth menyatakan tentang teori komtekstual sebagai berikut: “If we regard language as ‘expressive’ or ‘communicative’ we imply that it is an instrument of inner mental states. And as we know so little of inner mental states, even by the most careful introspection the language problem becomes more mysterious the more we try to explain it by referring it to inner mental happenings which are not observable. By regarding words as acts, events, habits, we limit our inquiry to what is objective in the group life of our fellows”. Apabila kita menganggap bahasa sebagai ‘eskpressif’ (ucapan, pernyataan) atau ‘komunikatif’ (menceritakan, menyampaikan) kita maksudkan adalah bahwa bahasa tersebut sebagai instrumen dari keadaan mental bagian dalam. Dan sebagaimana kita ketahui begitu sedikit tentang keadaan mental bagian dalam, bahkan dengan introspeksi yang sangat cermat pun maka masalah bahasa akan semakin pelik apabilan kita semakin berusaha untuk menjelaskannya dengan merujuk kepada peristiwa-peristiwa mental bagian dalam yang tidak dapat diobservasi. Dan menganggap perkataan atau pernyataan sebagai perbuatan, peristiwa, kebiasaan, maka kita batasi penyelidikan kita pada sesuatu yang objektif di dalam kehidupan sesama kita. (Yuslem, 2010, h. 5)
          Pemikiran Firth di atas melahirkan ide tentang konteks situasi atau teori kontekstual dalam analisis makna. Makna sebuah kata, menurut teori ini, terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tersebut. Bahkan teori kontekstual mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Tokoh lain yang pendapatnya sejalan dan bahkan juga menjadi dasar bagi teori kontekstual ini adalah antropolog B. Malinowski dari Inggris. (Parare, 2004, h. 47)
          Firth menjelaskan bahwa makna tidak akan terlihat atau terungkap kecuali melalui penggunaannya dalam unit bahasa, yaitu dengan menggunakannya dalam berbagai macam konteks. Firth berpendapat, sebagian besar unit makna berdampingan dengan unit-unit lain. Makna unit ini tidak mungkin digambarkan atau ditentukan kecuali dengan memperhatikan unit-unit lain. Karena itulah studi makna tentang kata menuntut adanya analisis konteks yang menjadi acuan kata-kata tersebut. Dengan demikian, makna kata bergantung ada macam-macam konteks tempat kata itu berada. Dengan kata lain, makna kata bergantung pada peran kebahasaannya. (Umar, 1998, h. 68-69).
          Dalam teori kontekstual ini J.R Firth lebih condong ke Konteks Situasi seperti yang sudah disinggung pada bab pendahuluan bahwa arti suatu konteks dalam suatu kata atau kalimat itu mengandung makna yang berkaitan dengan waktu dan tempat berlangsungnya dalam suatu pembicaraan atau teks (tulisan). Jadi, pada konteks ini sebuah ujaran dikaitkan dengan sebuah pertanyaan kapan, di mana dan dalam situasi apa ujaran itu diucapkan. Tempat, waktu dan kondisi memiliki pengaruh terhadap pemaknaan sebuah kalimat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hal ini menjadi penting, jika tidak demikian maka kemungkinan akan terjadi ketidaksaling fahaman antara penutur dengan pendengar. Hal ini dikemukakan oleh Mustansyir (2001, h. 155) mengutip pendapat Wittgenstein yang menegaskan bahwa arti suatu kata bergantung pada penggunaannya dalam kalimat. Artinya, kita bisa terjebak ke dalam keruwetan bahasa manakala kita menjelaskan pengertian suatu kata dengan memisahkannya dari situasi yang melatarbelakanginya dalam arti tidak tahu kapan, dimana, dan kondisi pemicaraan atau tulisan itu muncul dihadapan kita.
          Para linguis kontemporer menegaskan akan pentingnya peran konteks dalam menentukan makna sebuah bahasa. Untuk mengetahui makna kata dengan benar dan tepat,  harus dengan menganalisis konteks yang melatarinya, sebagaimana yang di tegaskan oleh ‘Audah Khalîl Abû ‘Audah, menurut nya untuk memahami makna tidaklah cukup hanya dengan melihat dan membuka kamus saja, tetapi harus melihat konteks yang melatari kata tersebut, seperti lingkungan di mana kata tersebut diucapkan,  kemudian penutur bahasa itu sendiri; apakah itu intonasi dan stress. (‘Audah Khalîl Abu‘Audah, 1985, h. 73). Dalam teori ini memaksa pembicara untuk lebih cerdas dan berhati-hati dalam memilih kata-kata sesuai dengan situasi. Hal ini senada dengan para linguis Arab dahulu, yang terkenal oleh ahli balâghah (ahli dalam pembicaraan) dengan istilah al-Maqâm sehingga kata maqam ini menjadi sebuah perumpamaan yang ter- kenal:  (لكل مقام مقال) dan (لكل كلمة مع صاحبتها مقام). Dengan memperhatikan konteks, menjadikan seorang pembicara untuk tidak menggunakan kata-kata yang tidak sesuai dengan keadaan dan tempatnya atau kata-kata yang jarang digunakan oleh masyarakat lingkungannya. Misalnya penggunaan kata (يرحم) ketika mendo’akan orang yang sedang bersin dengan mengatakan: (يرحمك الله) dimulai dengan fi’il, tapi ketika mendo’akan orang yang telah meninggal dunia, maka dikatakan: (الله يرحمه) dimulai dengan isim. Kalimat yang pertama maknanya permohonan rahmat di dunia, sedangkan kalimat yang kedua maksudnya permohonan rahmat di akhirat. (Umar, 1998, h. 71-72).
          Sedangkan menurut Muhammad ’Ali al-Khuli menyatakan bahwa konteks situasi adalah:
السياق الذي جري فى إطاره التفاهم بين شخصين ويشمل ذاك زمن المحادثة زمكانها والعلاقة بين المتحادثين والقيم المشتركة بينهما والكلام السابق للمحادثة.
Artinya:
konteks yang berlangsung dalam bingkainya saling memahami antara dua individu yang meliputi waktu, tempat, dan hubungan antara kedua individu tersebut, kemudian juga kesamaan nilai antara keduanya, dan kalimat-kalimat yang melatari pembicaraan. (Khuli, 1986, h. 259).
          Unsur-unsur konteks situasi ini meliputi antara lain:
1.    Pembicara itu sendiri, yaitu: apakah ia priaatau wanita, apakah satu orang, dua, atau berkelompok, apa agama, warga negara, stress suaranya, kedudukan sosialnya, dan sifat-sifat yang membedakannya dari yang lain.
2.    Pendengar, yaitu meliputi hubungannya dengan si pembicara, dari segi kekerabatan dan persahabatan dengannya, responnya terhadap pembicara, di samping karakter- karakter dari unsur pembicara yang  telah disebutkan di atas.
3.    Pokok pembicaraan, yaitu: dalam kondisi apa diucapkan, di mana dan kapan, bagai- mana diucapkan, apa yang melatarbelakangi pembicaraan tersebut, dan unsur- unsur lain yang mempengaruhi pada cara pengucapan pembicaraan, penyusunan struktur kalimat, makna, dan tujuan dari pembicaraan tersebut.
4.    Implikasi pembicaraan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, apakah ia puas, tidak suka (menantang), tertawa, dan lain-lain. (Musa, 1980, h. 85-87).
          Al-Amar (kalimat perintah) dalam kali- mat berikut ini, ( العب واهجر قراءة الكتب) contohnya, terkadang perintah (amar) pada kalimat tersebut dimaksudkan untuk mencela (al-Taubih), untuk membimbing (al-Irsyad), atau untuk menakut-nakuti (al-Tahdîd) sesuai dengan konteks dan kondisi lawan bicara. (Bahri, 2016, h. 94).
          Teori konteks situasi ini mempunyai peran fungso penting dalam menentukan sebuah makna kata atau kalimat. Dalam hal ini, al-’Izz Ibn ’Abd al-Salam menyatakan bahwa Siyaq memberi petunjuk untuk menjelaskan kata-kata yang umum (al-Mujmalat), menguatkan kata-kata yang mengandung kemungkinan-kemungkinan adanya makna yang bermacam-macam (al-Muhtamalat), menguatkan kata-kata yang bermakna jelas (al-Wadhihat), maka setiap sifat yang terletak pada konteks pujian (Siyaq al- Madah) maka ia adalah pujian, walaupun asalnya  untuk celaan, dan setiap sifat yang terletak pada konteks celaan (Siyaq al-Zamm), maka ia adalah celaan, walaupun asalnya dibuat untuk pujian. Seperti firman Allah Swt. dalam surah al-Dukhan: " ذق إنك أنت العزيز الحكيم" kata al-‘Azîz dan al-Karîm dalam ayat tersebut artinya perkasa dan mulia, asalnya dibuat untuk menyatakan pujian, tapi karena ia berada dalam konteks celaan (al-Tazlil wa al- Tahqir) maka ia mengandung makna celaan (Jauziyyah, jilid 4, h. 9 -10).
Kritik Terhadap Pemikiran J.R. Firth Tentang Teori Kontekstual
          Dalam teorinya yang begitu pengaruh dalam sebah makna kata atau kalimat, teori kontekstual yang dinyatakan oleh J.R Firth terdapat beberapa kritik atau komentar dari ahli linguistik  lainya diantaranya:
a.    Firth tidak menggunakan teori universal untuk menyusun suatu bahasa, ia dicukupkan dengan menggunakan teori semantik, padalah makna harus diungkapkan secara berurutan dari hubungan-hubungan kontekstual (Siyaq), suara-suara (Al-Aswat), struktur dan semantik. (Umar, 1998, h. 73)
b.    Firth tidak membatasi ketika menggunakan istilah konteks beserta kepentingannya. Penjelasannya tentang situasi pun tidak begitu jelas. (Umar, 1998, h. 73)
c.     Teori ini sama sekali tidak bermanfaat ketika konteks tidak dapat menjelaskan suatu  makna kata atau kalimat. (Umar, 1998, h. 73)
Simpulan     
            Teori Kontekstual merupakan makna sebuah dari leksem atau kata yang berada didalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasi maupun kondisi, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa tersebut. Teori ini dikembangkan oleh seorang linguistik yang berasal dari Inggris yaitu J. R. Firth. Dalam teori kontekstual ini, J.R Firth lebih condong ke Konteks Situasi, artinya suatu konteks dalam kata atau kalimat itu mengandung makna yang berkaitan dengan waktu dan tempat berlangsungnya dalam pembicaraan atau teks (tulisan). Jadi, pada konteks ini sebuah ujaran dikaitkan dengan sebuah pertanyaan kapan, di mana dan dalam situasi apa ujaran itu diucapkan. Tempat, waktu dan kondisi memiliki pengaruh terhadap pemaknaan sebuah kalimat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hal ini menjadi penting, jika tidak demikian maka kemungkinan akan terjadi ketidaksaling fahaman antara penutur dengan pendengar. Teori yang dikemukakan oleh J.R. Firth terdapat beberapa kritikan dari para linguis yang menganggap bahwa teori Firth tidak menggunakan teori secara universal dan tidak ada batasan dalam penggunaannya serta tidak akan berguna ketika tidakadanya kejelasan konteks dari suatu kata atau kalimat.
Daftar Pustaka

Bathir, Fara. (1995). Ilmu Dalalah Ithor Jaid Darul Ma’rifah Al-Jami’iyyah: Iskandariyah
Bahri, Samsul. (2016). “Peran Al-Siyaq (Konteks) Dalam Menentukan Makna” dalam Ittihad Jurnal Kopertais XI Kalimantan Volume 14 No.26 Oktober 2016.
Haidar, Farid ‘Awadh. (2005). “Ilm al-Dalalah; Dirasah Nazhariyyah wa Tathbiqiyyah” Cet. 1. Kairo: Maktabah al-Adab.
Ibrahim, Rajab ‘Abd al-Jawwad. (2001). “Dirasat fî al-Dilalah wa al-Mu’jam”. Cet. 1. Kairo: Maktabah al-Adab.
Jalil, Abd al-Manqur. (2001). “Ilm al-Dilalah Ushuluh wa Mabahitsuh fî al-Turats al-‘Arabi”. Damaskus: Ittihad al-Kuttab al-‘Arab.
Jauziyyah, Ibn Qayyim. “al-, Bada’i al-Fawa’id”. Jeddah: Dar ‘Alam al-Fawa’id.
Khuli, Muhammad ‘Ali al-. (1986). “A Dictionary of Applied Linguistics”. Cet. 1. Beirut: Librairie du Liban.
Mustansyir, Rizal. (2001). “Filsafah Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Musa, Nihad. (1980). “Nazhariyyah al-Nahwi al-‘Arabi fî Dhau Manahij al-Nazhar al -Lughawi al-Hadits”, Cet.1. Mu’assasah al-‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr.
Parera, J. D. (2004). Teori Semantik. Cet. 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Strazny, Philipp. (2005). “Encyclopedia Of Linguistics 2v” .New York.
Umar, Ahmad Mukhtar. (1998). “Ilmu Dilalah”.  Kairo: Maktabah Dar Al-Arubah
Yuslem, Nawir. (2010). “Kontektualisasi Pemahaman Hadis” dalam Jurnal MIQOT Vol. XXXIV No. 1 Januari-Juni 2010).